Beranda | Artikel
Untukmu yang Selalu Gagal
Kamis, 3 Januari 2019

Buletin At-Tauhid edisi 01 Tahun XV

Walau berdakwah selama 950 tahun dan hanya memiliki belasan pengikut, Allah tidak menyatakan Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagai seorang yang gagal, melainkan sebagai nabi yang mulia.

Carilah ridha Allah, bukan kesuksesan di mata manusia, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan usahamu, asalkan engkau tetap berpegang teguh di jalan-Nya, sesuai dengan sunnah nabi-Nya.

Untukmu, yang kegagalan terus menyapa…

(1) Tetaplah bersabar. Janganlah kepayahan hidup membuatmu menerjang larangan Allah.

(2) Pahamilah bahwa di balik itu bisa jadi ada hikmah yang indah. Belum tentu sesuatu yang kita rasa baik, itu baik menurut Allah, dan sebaliknya.

(3) Ingatlah bahwa hidup itu untuk menguji siapakah yang lebih baik amalannya.

Iringi kehidupan ini dengan penuh rasa syukur, walau tak semuanya seindah yang kita inginkan. Bukankah kita telah memiliki nikmat terbesar, yang selalu didamba orang kafir yang telah mati, yang kini disiksa di dalam kubur? Yaitu hidup di atas keimanan.

Iringi kehidupan ini dengan penuh rasa syukur, walau tak semuanya seindah yang kita inginkan. Bukankah kita telah memiliki nikmat terbesar, yang selalu didamba orang kafir yang telah mati, yang kini disiksa di dalam kubur? Yaitu hidup di atas keimanan.

Manisnya keimanan itu dapat dirasakan oleh seorang mukmin, yaitu lezatnya ketaatan kepada Allah. Apakah kita sudah menikmatinya? Nikmat salat, membaca Al Quran, bersedekah… Jika belum, maka bersedihlah. Milikilah sifat-sifat ini, agar iman terasa manis:

(1) Mencintai Allah dan rasul-Nya lebih daripada siapapun selain keduanya.
(2) Mencintai orang lain semata-mata karena Allah.
(3) Merasa benci untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api.

Perjuangan Nabi Nuh ‘Alaihissalam

Ingatkah kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, seribu dikurang lima puluh tahun lamanya beliau menyeru kaumnya. Selama itu Beliau berdakwah, tak banyak yang mau beriman padanya. Bahkan istri dan anak Sang Penyeru pun, tidak ketinggalan menjadi jejeran manusia yang ingkar kepadanya.

Jika kita gunakan kacamata manusia, tentu akan banyak yang mengira bahwa Beliau adalah seorang yang gagal. Banyangkan saja, selama hampir seribu tahun berdakwah, umatnya hanya belasan. Itu artinya, rata-rata dalam 50 tahun berdakwah hanya ada 1 orang yang beriman dan menjadi pengikut Beliau. Bayangkan hal tersebut, 50 tahun berdakwah hanya mendapat 1 orang pengikut saja!

Penilaian Menurut Allah

Akan tetapi, hal tersebut tidaklah sama dengan penilaian Allah Ta’ala, Allah tidak menyatakan bahwa Beliau adalah seorang yang gagal. Bahkan sebaliknya, Allah tetapkan Beliau sebagai nabi yang mulia. Tak sampai disitu, Allah pun mengabadikan namanya sebagai nama salah satu surat dalam Al-Qur’an. Tentu saja, Beliau adalah satu dari lima nabi dengan gelar “Ulul ‘Azmi”, Nabi Nuh ‘alaihis salam.

Begitulah teman, jika dalam hidup ini yang kita tuju adalah kesuksesan di mata manusia, maka kegagalan akan selalu melekat di pelupuk mata. Namun, jika yang kau cari adalah ridha Ilahi, Ia tidak akan pernah menyia-nyiakan usahamu.

 “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Hud : 115).

Betapapun engkau gagal di mata manusia, Allah akan selalu menghargai usahamu, karena Dialah Dzat Yang Maha Mensyukuri lagi Maha Penyantun.

 “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (At-Taghabun : 17).

Tentu saja semua itu dengan satu syarat, yaitu selama engkau tetap berpegang teguh di jalan-Nya, sesuai dengan sunnah-sunnah nabi-Nya dalam menjalani hidup di dunia ini.

Untukmu yang tak lulus ujian, untukmu yang letih mencari nafkah, untukmu yang tak kunjung sembuh dari sakit, untukmu yang merasa sulit dalam menghafal ayat-Nya, untukmu lelaki yang ingin menikah tetapi penolakan selalu saja terjadi, untukmu wanita yang jenuh menunggu menanti kedatangan pinangan, untukmu pasangan yang tak kunjung mendapatkan buah hati, untukmu yang masih terlilit dalam hutang, untukmu yang terlunta-lunta di jalan dakwah, juga untukmu yang selalu gagal, tetaplah bersabar, tetaplah bersabar dengan kesabaran yang indah. Dan janganlah kepayahan dalam menjalani hidup membuatmu menerjang larangan-larangan Allah, karena segala sesuatu yang menimpamu sejatinya sudah digariskan oleh-Nya.

 “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Al-Hadid 22-23).


Hikmah Dibalik Kegagalan

Pahamilah bahwa kegagalan yang terus menyapa, yang begitu terasa pahit, bisa jadi menyimpan hikmah-hikmah yang indah di dalamnya, dan itulah pula yang terbaik bagimu. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang kita rasa baik, belum tentu itu baik menurut Allah, sesuai dengan firman-Nya (yang artinya),

 “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah : 216).

Dan ingatlah bahwa kita hidup di dunia bukan hanya soal menyoal tentang hasil belaka, namun siapakah yang lebih baik amalannya,

 “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Al-Kahfi : 7).

Karena begitulah hidup, sejatinya ia hanyalah ujian-ujian yang silih berganti, untuk menguji siapakah yang benar imannya.

 “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut : 2-3).

Oleh karena itu, jadilah orang yang tidak pernah gagal dalam hidup, yakni dengan melakukan segala sesuatu hanya mengharap ridha Allah.

Tetaplah bersabar dalam ketaatan kepada-Nya, meskipun kadang tak semua seindah yang kita inginkan. Dan selalu iringi kehidupan dengan penuh rasa syukur. Karena bagaimanapun kepayahan hidup yang menimpa kita sekarang, bukankah kita justru telah memiliki nikmat yang paling besar, yaitu hidup di atas keimanan, nikmat yang selalu didamba-dambakan orang-orang kafir yang telah mati yang kini disiksa di dalam kubur.

Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang beriman dan semoga Allah menjadikan hari pertemuan dengan-Nya adalah hari terbaik kita dan nikmat yang paling agung.

The Sweetness of Faith [2]

Manisnya Iman…

Dalam beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah menyebutkan mengenai manisnya iman.

Ya, betul. Keimanan itu ada rasa manis yang bisa dirasakan oleh seorang mukmin.

Apakah sebetulnya rasa dari manisnya iman ini?

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan bahwa yang dimaksud manisnya iman adalah merasakan kelezatan dalam melakukan ketaatan.

Mari kita renungkan, adakah kita merasa lezat dan nikmat ketika melakukan ketaatan?

Ketika salat, sudahkah kita menikmati salat? Kita nikmat ketika berlama-lama dalam salat. Ataukah kita menjadi orang yang ketika salat di belakang imam terkadang atau sering ngegrundel,

“Duh, Imamnya lama banget…”

“Duh, suratnya ga dikenal, bakalan panjang dah ini.”

Dan akhirnya pikiran pun melanglang buana entah kemana.

Adakah kita merasakan nikmat ketika membaca Al Quran? Atau kita merasa berat hanya ‘tuk sekedar mengangkat mushaf?

Adakah kita merasa bahagia ketika ada kesempatan bersedekah dan berinfaq ? Atau kita masih termasuk orang-orang yang harus memaksa diri untuk melakukan ini semua?

Dan bagaimanakah pula dengan ketaatan-ketaatan lainnya?

Jika sudah, maka syukurilah, karena itu berarti manisnya iman sudah masuk ke dalam relung hati kita.

Jika sebaliknya, maka bersedihlah, karena sungguh kita telah luput dari salah satu kenikmatan yang agung di kehidupan dunia yang fana ini.

Periksalah, apakah kita sudah memiliki syarat untuk merasakan manisnya iman?

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman; menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Penulis:

[1] Muhammad Nashrul Malik, S.T.

[2] Ustaz Boris Tanesia, S.Si. Hafizhahullah


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/bt1501/